Shireen Abu Akleh, jurnalis stasiun televisi Al Jazeera Palestina dibunuh penembak jitu Israel Rabu (11/5/2022). Dia koresponden televisi veteran, yang juga perempuan popular di dunia jurnalisme Arab karena liputannya yang berani tentang konflik Israel Palestina. Teman dan kolega menggambarkan Abu Akleh sebagai reporter pemberani dan baik hati.
Tawanya kerap menular ke teman teman dekatnya, dan ia menyuarakan perjuangan rakyat Palestina selama hampir tiga dekade kariernya. Berasal dari Yerusalem Timur, dan menulis ia warga negara AS, Shireen Abu Akleh (51) meninggalkan saudara laki lakinya, Tony Abu Akleh. “Kerugian kami sangat besar,” kata Nida Ibrahim, koresponden dan rekan Abu Akleh di Tepi Barat yang diduduki Israel.
“Dia baik, berdedikasi dan berbakti. Dia tahu ceritanya terus menerus dan dia mengerti nuansanya. Dia membawa banyak informasi untuk pelaporannya,” lanjut Nida Ibrahim. Sembari menangis, Ibrahim menggambarkan Abu Akleh sebagai manusia “unik” yang sangat terkenal, tetapi sederhana dan berkomitmen pada profesinya. Pada saat kematiannya, Abu Akleh telah belajar bahasa Ibrani untuk memahami narasi media Israel lebih baik, dan baru saja menyelesaikan diploma di media digital.
“Dia bukan hanya seorang veteran, yang telah berada di sini meliput cerita selama bertahun tahun, tetapi juga seseorang yang ingin terus belajar dan terus melaporkan menggunakan cara baru,” lanjutnya. Lahir di Yerusalem pada 1971, Shireen Abu Akleh yang beragama Kristen, awalnya belajar arsitektur sebelum beralih ke jurnalistik di Universitas Yarmouk di Yordania. Setelah lulus, ia kembali ke Palestina dan bekerja di beberapa media, termasuk Radio Suara Palestina dan Saluran Satelit Amman.
Dia bergabung dengan Al Jazeera Media Network setahun setelah diluncurkan pada 1996. Ia menjadi koresponden lapangan pertama jaringan berbahasa Arab yang berbasis di Qatar dan mendapatkan ketenaran untuk liputannya tentang Intifada Palestina kedua pada 2000. “Saya memilih jurnalistik untuk dekat dengan rakyat,” kata Abu Akleh dalam salah satu video.
“Mungkin tidak mudah untuk mengubah kenyataan, tapi setidaknya saya bisa membawa suara mereka ke dunia,” tambahnya. Sebagai jurnalis televisi, Abu Akleh meliput peristiwa besar dan kecil, dari perang Gaza 2008, 2009, 2012, 2014 dan 2021. Ia meliput aksi pembobolan penjara oleh enam warga Palestina yang melarikan diri dari penjara dengan keamanan maksimum di Israel utara September lalu.
Dia juga meliput berita regional, termasuk perang di Lebanon pada 2006. “Shireen adalah pelopor, inspirasi bagi kita semua,” kata Dalia Hatuqa, seorang jurnalis Al Jazeera yang merupakan teman dekat Abu Akleh. “Kehadirannya menjadi identik dengan Al Jazeera,” tambahnya.
Selama puncak Intifadah kedua, Hatuqa mengingat tentara Israel berkeliling kota Ramallah Palestina. Di tiap laporannya, ia mengatakan secara jelas menggunakan kalimat penutup: Shireen Abu Akleh, Al Jazeera, Ramallah”. Bagi teman temannya, Abu Akleh jauh lebih dari sekadar wajah Al Jazeera di Palestina.
“Dia suka bepergian, melihat dunia, berbelanja, berpesta,” kata Hatuqa. “Dia kehilangan ibu dan ayahnya ketika dia masih muda dan melihat begitu banyak kekejaman di dunia, terutama di Palestina, tetapi itu tidak pernah menghentikannya untuk menghargai dan menikmati hidup,” kata Nida Ibrahim. Ia menambahkan, “Suaranya sangat indah, bahkan ketika dia menceritakan kisah kisah yang memilukan.”
Abu Akleh sedang bertugas di kota Jenin di Tepi Barat yang diduduki, meliput serangan Israel di sebuah kamp pengungsi, ketika dia terbunuh. Dia ditembak di kepala saat mengenakan rompi antipeluru biru yang ditandai secara jelas kata "PRESS”. Dalam sebuah pernyataan, Jaringan Media Al Jazeera menyebut pembunuhan Abu Akleh sebagai "pembunuhan terang terangan" dan "kejahatan keji".
Jaringan tersebut menuduh pasukan Israel menargetkan jurnalis veteran dengan tembakan langsung dan membunuhnya secara "darah dingin". Tentara Israel membantah menargetkan wartawan dan telah menawarkan penyelidikan bersama atas kematian Abu Akleh di tengah meningkatnya protes. Tamer Al Meshal, yang bekerja dengan Abu Akleh pada saat pembunuhannya, menyebutnya sebagai model bagi jurnalis Palestina dan Arab.
“Sampai detik terakhir, dia profesional dan gigih dalam pekerjaannya,” katanya. “Pesan terakhir yang dikirim Shireen Abu Akleh ke Al Jazeera adalah melalui email pada pukul 06.13. “Pasukan pendudukan menyerbu Jenin dan mengepung sebuah rumah di lingkungan Jabriyat. Dalam perjalanan ke sana, saya akan membawakan Anda berita segera setelah gambarannya menjadi jelas,” tulis Abu Akleh di emalnya.
“Kami dan pemirsa tidak tahu berita yang dia kirimkan ini adalah berita kesyahidannya,” kata Tamer Al Meshal.
Tinggalkan Balasan